Search This Blog

Tuesday, February 22, 2011

Anak Jermal Lari Karena Tersiksa

Oleh: Ahmad Sofian


Larinya empat orang buruh jermal dari Sialang Buah, Deli Serdang kembali menghiasi media massa pada awal bulan Oktober ini. Keempat bruh masing-masing bernam Adi (16), Inan (16), Harun (16), dan Mistriadi (17) penduduk Air Joman dan Bandar Tinggi yang berhasil menyelamtkan diri dari Jermal Harapan Jaya dengan menggunakan empat kepingan papan yang diikat dengan tali. Tragisnya mereka sempat terapung-apung di perairan Selat Malaka dan kemudian diselamatkan nelayan tradisional. Diperkirakan larinya keempat anak ini disebabkan oleh kekerasan kerja yang ada di jermal di luar batas kemampuan, dan juga jaminan keselamatan yang tidak memadai.
 
Kasus ini sempat dipersoalkan Komisi E DPRD Tk. I Sumut yang menerima pengaduan keempat buruh ini dan meminta pengusaha jermal ditindak. Dan beberapa LSM juga memperkirakan kasus ini dan meminta pemerintah menindak pengusaha jermal.
 
Lembaga Advokasi Anak Indonesia (LAAI) sebagai lembaga yang menangani persoalan buruh anak terjun mencari data dan fakta seputar larinya empat buruh jermal tersebut dan pada tanggal 9 Oktober LAAI (Sdr. Ahmad Sofian, SH) bersama dengan salah seorang wartawan dari Jakarta menuju Desa Bangun Sari dan berhasil menemui tiga buruh jermal dan orang tua buruh tersebut.

Potret jermal
Jermal merupakan bagan penangkapan ikan yang berada pada jarak 10-16 mil dari tepi pantai. Bahkan ada yang berjarak lebih dari 15 mil, namun ada juga yang jaraknya kurang dari 6 mil. Ukuran jermal bervariasi, ada yang berukuran 10 x 15 m, tetapi ada juga yang berukuran 20 x 40 m.
Pada jermal tersebut ada rumah yang berukuran 1/3 dari luas jermal, dimana rumah tersebut selain untuk tempat istirahat Buruh, juga sebagai tempat proses perebusan dan penyimpanan ikan. Jermal ini dibuat dari kayu api yang berukuran besar. Kayu-kayu tersebut didatangkan dari Aceh dan Langkat dengan sampan bermotor. Kedalaman laut tempat jermal berada sekitar 15-30 M.
 
Pada jermal-jermal ini tersedia alat-alat penangkap ikan yang mereka sebut tangkal dan keroncong yang keduanya ini adalah jaring besar berukuran 10 x 12 M yang ditenggelamkan pada laut dibawah jermal dan setiap dua jam sekali jarring ini diangkat dan kemudian ditenggelamkan lagi.
 
Dalam setiap jermal, jumlah buruh yang bekerja berkisar 10-16 orang yang berumur 14-18 tahun, bahkan ada yang berumur 12 tahun. Selain buruh di dalam jermal ini terdapat seorang mandor dan wakilnya. Kerja buruh senantiasa diawali oleh mandor ini.
 
Jam kerja buruh jermal ini tidak teratur dan sangat tergantung dengan musim, apakah pasang hidup (layak ikan) atau pasang mati (ikan sedikit dan tidak ada).
 
LAAI mencatat pada tahun 1995 ada sekitar 1800 s/d 1900 jermal di Pantai Timur Sumatera Utara yang tersebar pada empat Kabupaten yaitu Langkat, Deli Serdang, Asahan dan Labuhan Batu. Tapi menurut catatan Dinas Perikanan Sumut jumlah yang terdaftar berjumlah 369 jermal dengan penyebaran 23 unit di Langkat, 81 unit di Deli Serdang, 192 unit di Asahan dan 72 di Labuhan Batu.
Di Deli Serdang sendiri wilayah penyebarannya meliputi Pantai Cermin, Pantai Labu dan Sialang Buah. Dan di Sialang Buah inilah Inan, Adi, Harun dan Misriadi bekerja.

Kronologis
Awalnya, empat buruh jermal (Inan, Adi, Harun dan Misriadi) yang lari dari Jermal Harapan Jaya, Sialang Buah, Deli Serdang karena tidak tahan dengan system kerja yang diperlukan mandor jermal (Abeng).
Ina dan Harun telah bekerja selama 4,5 bulan, Misriadi 2 bulan dan Adi baru bekerja 3 hari.
Salah seorang dari buruh jermal yang lari tersebut yaitu Inan pada tanggal 27 September 1996 meminta kepada Abeng bahwa dia mau pulang ke kampungnya. Tetapi Abeng malah membentaknya. Dia bilang kepada Inan “kalau mau pulang, semua saja pulang dan jangan kau sendiri” demikian ditirukan Inan. Dan ketika itu ada perahu nelayan yang sedang berada di Jermal Harapan Jaya untuk membeli umpan. Saat itu juga Inan dan ketiga temannya turun ke perahu nelayan untuk pulang ke darat. Tetapi ketika perahu akan dijalankan Abeng meminta kepada pemilik sampan tersebut agar memungut Rp 5.000 per orang untuk transfer ke darat. Dan Abeng mengetahui persis bahwa keempat orang buruh jermal tersebut tidak punya uang.
 
Ketika pemilik sampan meminta uang dari keempat buruh jermal dan uang saat itu tidak ada, Abeng memerintahkan untuk keempat buruh tersebut naik ke atas jermal. Namun Inan dan teman-temannya tidak mau. Abeng lalu mengambil tombak (terbuat dari bambu) dan mengacam buruh jermal tersebut agar secepatnya naik. “Bila kalian tidak naik, kutomabki satu-satu” demikian ungkap Abeng. Seketika itu juga buruh naik ke Jermal.
 
Setelah mereka naik ke jermal, seketika itu juga mereka di suruh bekerja. Namun Ina tidak mau dan Abeng memaksa Inan untuk bekerja kembali. Karena di paksa Abeng Inan mau juga bekerja.

Pelarian
kira-kira sore hari tanggal 27 September 1996, Inan mengatakan kepada teman-temannya Adi, Harun dan Misriadi bahwa dia akan lari dari jermal malam ini. Dan ketiga teman-temannya mau ikut lari.
Malamnya sekitar pukul 22.30 WIB, ketika mandor dan buruh-buruh jermal lain sedang tidur; Inan, Adi, Harun dan Misriadi mengambil empat keeping papan yang belum dipaku dari lantai jermal yang panjangnya sekitar 3meter. Papan tersebut diikat dengan tali dan diapit dengan bambu.
Setelah mereka rasa kuat, papan tersebut mereka dijatuhkan ke laut dan satu per satu buruh jermal buruh dan naik ke atas papan yang telah mereka persiapkan.
 
Papan yang mereka naiki tersebut tidak dilengkapi dengan alat dayung sehingga , untuk mendayung papan tersebut terpaksa mereka menggunakan tangan. Dan karena beban yang di tanggung papan terlalu berat, papan tersebut sempat tenggelam lebih kurang 0,5 meter dari permukaan laut.
Demikianlah karena mereka sendiri sudah kedinginan, mereka pasrah dengan nasib yang bakal mereka terima. Dalam pikiran mereka kalau tidak hidup, ya….mati.
 
Selama lebih kurang tujuh jam mereka diombang-ambing kan ombak di Selat Malaka. Kira-kira pukul 06.00 WIB pagi sebuah kapal nelayan (KM.Jamur) melintas tidak jauh dari mereka. Seketika itu juga mereka berteriak minta tolong. Dan ternyata salah seorang awak kapal mendengar teriakan buruh tersebut.
Keempat anak ini dinaikkan ke kapal dan dibawa ke darat. Sesampai di darat tepatnya di pelelangan ikan Sialang Buah, telah menunggu polisi. Ternyata Abeng, telah mengontak polisi yang ada di Sialang Buah bahwa keempat buruhnya telah lari.
 
Buruh-buruh ini telah diinterogasi selama lebih kurang 2 jam, kemudian mereka disuruh pulang. Tetapi pemilik boat (Akub) dan Muhammad Idris Said (seorang veteran ABRI) telah menunggu di luar kantor polisi dan langsung membawa ke rumah Akub.
 
Sampai di rumah Akub, hari itu juga (tanggal 28 Sepetember 1996) mereka di bawa oleh M Idris Said ke Medan. Di Medan mereka diinapkan di rumah salah seorang famili M Idris Said. Dan tanggal 30 Sepetember 1996 M. Idris Said membawa keempat buruh di bawa ke DPRD Tk.I Sumut dan diterima oleh Komisi E.

Perdamaian
Selepas dari DPRD Tk.I, keempat buruh ini dibawa oleh M Idris Said ke Bandar Tinggi, rumah salah seorang buruh jermal (Misriadi) dan disini mereka menginap lebih kurang tiga hari. Pada tanggal 5 Oktober 1996 kira-kira pukul 06.00 pagi, touke jermal (Tokia) Harapan Jaya bersama dengan salah seorang polisi dating kerumah Misriadi dan meminta kepada orang tua Misriadi dan keempat buruh jermal tersebut agar dating ke kantor Polres Tebing Tinggi. Hari itu juga mereka pergi ke Polres Tebing Tinggi.
Di kantor polisi mereka disuruh menunggu kedatangan Abeng yang sedang menjemput orang tua Inan, Adi dan Harun. Mereka menunggu hingga pukul 11.00 WIB (lebih kurang 5 jam).


Sumber: Mimbar Umum, 20 Oktober 1996

No comments:

Post a Comment