Search This Blog

Tuesday, February 22, 2011

Bisnis Pelacuran Anak

Oleh: Ahmad Sofian

Dalam pekan terakhir ini, pembicaraan krisis ekonomi nasional dimeriahkan dengan maraknya bisnis pelacur anak (baca ABG= Anak Baru Gede) di Pulau Karimun, Riau. Anak dijadikan komoditas yang mahal, yang penting cantik dan belum berusia kepala dua. Nilai jualnya tidak tergantung kepada krisis dolar yang tengah melanda tanah air, tidak pula dipengaruhi oleh pangsa pasar yang sedang lesu. Malah dalam kondisi sulit seperti saat ini “ABG” diburu orang dengan harga tinggi.
 
Kasus yang diberitakan harian Waspada (3-4/2/1998) ini menyebutkan bahwa lebih 200 ABG dijadikan pelacur anak di hotel GM Tanjungbalai Karimun, Riau. Data yang berhasil disibak ini sebenarnya tidak perlu mengejutkan, sebab bsinis pelacur anak sudah lama berkembang.

Mungkin di antara pembaca pernah mendengar di era tahun 70-an mencuat istilah “gongli”, “perek, cewek baskom dan lain-lain yang kesemuanya menunjuk kepada penyebutan bagi anak-anak yang menggadaikan tubuhnya pada laki-laki untuk mendapatkan imbalan uang. Bedanya dengan temuan kasus di Riau adalah unsur “setengah dipaksa”.  Memang pada umumnya anak yang melacurkan dirinya lebih merupakan tekanan dari luar, dan sebagaian besar “anjuran” orang tua. Sebagai contoh kasus DW, gadis manis usia 14 tahun dipaksa menyerahkan kegadisannya oleh orang tuanya kepada laki-laki hidung belang dengan imbalan Rp 250.000. kasus in terjadi di Bandung pertengahan Juli 1997.

Pelacuran anak di Medan
Fenomena di atas nampaknya tidak jauh berbeda dengan keadaan para pelacur anak di Medan. Pengamatan yang kami lakukan mengindikasikan bahwa para pelacur anak di Medan dapat dibagi menjadi dua kategori yang essensial. Keessensialan ini terletak pada kompensasi yang mereka terima dari pihak konsumen, yaitu pertama apa yang disebut dengan “Bonsay” dan kedua adalah “Sewa” atau “Barges”.

Bonsay (Bondon sayang) mengacu pada kelompok wanita muda yang sering keluar masuk diskotik, pub, café, mall dan pusat-pusat hiburan kota yang selain untuk sekedar mencuci mata juga (dengan alasan beragam) melakukan transaksi seksual. Alasan mereka untuk melakukan transaksi seksual dapat dibagi mejadi beberapa sebab.

Penyebab pertama adalah rasa senang pada seseorang, maksudnya mereka itu dengan suka rela “diajak kemana saja” oleh seorang lelaki yang dikenalnya dipusat hiburan. Dengan sedikit ketampanan, sikap simpatik dan gaya modern serta pendekatan yang baik, seorang laki-laki akan dapat mengajak salah seorang atau beberapa orang dari mereka untuk menikmati “hidup”., tanpa mengharapkan suatu janji dan imbalan.

Kedua, adalah mereka yang menginginkan seseorang seperti mengendarai mobil terbaru, dibelikan barang-barang mewah atau konpensasi lain dalam bentuk material.

Biasanya para Bonsay itu tidak saja dengan mudah diajak untuk tidur. Mereka cenderung lebih memilih berhubungan dalam batas peci (istilah: peluk cium) tanpa diakhiri dengan hubungan badan.
Pada dasarnya para bonsay itu lebih cenderung pada pencarian rasa kesenangan materi dan rasa peduli atau kasih sayang dari seorang yang dia sukai, ketimbang sejumlah uang yang ditawarkan. Dan hal ini pula pembeda para bonsay dengan sewa atau barges.

Barges atau sewa adalah suatu istilah bagi kelompok perempuan muda yang mengkhususkan diri sebagai pelayan jasa seks murni. Mereka umumnya memiliki group dan mangkal di wilayah-wilayah tertentu. Wilyaha disini bisa sebuah tempat hiburan seperti diskotik,pub, mall, ataupun lokalisasi. Hal ini mampu menangguk pencapaian target ekonomi yang menggiurkan.

Bonsay dan barges/sewa memiliki ciri-ciri itu dapat dilihat secara fisik atau dari penampilan mereka dipusat-pusat hiburan, yang kesemuanya akan menjelaskan apakah seorang masuk bonsai atau barges/sewa.

Alasan-alasan
Hubungan sebab akibat adalah berlaku secara umum, kredo ini berlaku juga dalam dunia pelacuran anak. Berdasarkan survey yang kami laksanakan, ada beberapa sebab yang melatari terjunnya seseorang yang masih belia (anak-anak) ke dalam dunia pelacuran.

Berdasarkan hasil wawancara, banyak di antara mereka mempunyai latar belakang yang hamper sama, yakni trauma psikis social. Dan berikut ini ditampilkan dua kasus yang menyebabkan anak melacurkan dirinya.
Yang pertama sebut saja Lola, berusia 17 tahun. Tubuhnya tinggi semampai. Parasnya menarik dengan balutan kulit kuning langsat yang bersih. Menurut Lola, ia memulai “karir” dalam dunia pelacuran, sejak kejadian tragis menimpanya 2 tahun yang lalu. Saat itu, ayah tiri yang dihormatinya tega memperkosanya. Rasa takut, malu dan benci lalu mendera-dera batin Lola. Hal itu lalu membuatnya nekat meninggalkan kampungnya menuju Medan.

Sampai saat ini, Lola masih belum dapat memaafkan perbuatan ayah tirinya. Untuk mengurangi rasa benci dan frustasi, selain melacurkan diri, Lola kini mengakrabkan dirinya dengan minuman keras dan obatan penenang. Kalau Lisa (16 tahun) lain lagi. Ia menjadi pelacur di samping statusnya sebagai seorang pelajar di kelas dua sebuah SMA favorit di Medan, karena pergaulan modern yang salah kaprah. Menurutnya ia menjadi pelacur karena pergaulannya dengan seorang pria ganteng bermobil kijang yang juga mahasiswa perguruan tinggi swasta di Medan.

Pergaulan Lisa dengan sang pacar akhirnya menjadi sebuah hubungan yang lebih dalam. Lisa menyerahkan kegadisannya pada sang pacar, saat itu ia lagi “on” (istilah mengalami halusinasi akibat obat terlarang). hubungan badan ini berlanjut seiring dengan penggunaan obat-obatan yang pada mulanya diberikan oleh sang pacar sebelum “naik ke bulan”.

Namun belakang, sang pacar yang akhirnya pindah ke luar Sumatera dan harus berpisah dengan Lisa. Kondisi ini ternyata memperburuk kehidupannya. Selain ia kehilangan tempat untuk mencurahkan rasa rindu, ia juga telah mencapai kondisi rawan dalam penggunaan obat terlarang. Tadinya, hal ini masih dapat ditanggulanginya dengan menghabiskan uang buku, uang sekolah, dan uang-uang lain yang ia minta dari orang tuanya. Tapi semua itu tidaklah berlangsung lama. Setelah mendapat beberapa surat teguran dari pihak sekolah akhirnya ia harus mengalami peraturan uang ketat, dimana orang tua tidak lagi memberikan uang secara berlebihan tetapi lebih teratur sedemikian rupa hingga hanya cukup untuk kebutuhan seorang remaja kota biasa.

Kondisi Lisa yang demikian mengharuskannya untuk mencari uang lebih untuk memberi beberapa butir pil setan demi khayalannya. Dan itu bukanlah pekerjaan yang mudah bagi seorang gadis yang duduk di bangku sekolah. Jalan akhir yang dia tempuh setelah berkonsultasi dengan temannya adalah dengan mencoba mendekati para Om-om senang atau para eksekutif muda yang biasa mereka jumpai di pusat-pusat hiburan. Dan demi beberapa butir pil akhirnya Lisa telah menjerumuskan diri ke dalam dunia pelacuran.

Dua kasus yang ditampilkan di atas menunjukkan bahwa pelacuran anak tidak hanya menjadi bisnis para mucikari seperti yang selama ini nampak ke permukaan, tetapi juga karena kondisi psikologi, sosial, kultural, dan ekonomi keluarga.

Keluarga makin terbatas kemampuannya dalam membina dan mendidik anak. Akibatnya anak-anak yang sedang mengalami pertumbuhan tidak mampu terbina, padahal pada masa pertumbuhan seorang anak membutuhkan pembinaan di rumah, di lingkungan dan pada hubungan suami istri yang harmonis.

Merosotnya kehidupan keluarga, bukan hanya karena faktor ekonomi tetapi juga karena faktor sosial dan kultural. Mereka ini hanya terlibat dalam kehidupan kerja, sehingga tidak sempat melakukan fungsi sebagai orang tua. Dengan demikian hubungan orang tua dan anak tidak lagi harmonis. Akibatnya anak mengalami keterasingan (eliminated), sehingga ia akan mencari jalan sendiri untuk memenuhi keinginan-keinginannya.

Sumber: Harian Umum WASPADA, 12 Februari 1998.

No comments:

Post a Comment