Search This Blog

Tuesday, February 22, 2011

Buruh Anak Jermal Belum Terlindungi

Oleh: Ahmad Sofian


Entah untuk yang keberapa kali kasus diltelantarkannya buruh anak yang bekerja di jermal tersibak. Kali ini menimpa empat orang anak yang lari dari jermal Harapan Jaya, Sialang Buah, Deli Serdang. Mereka masing-masing adalah Adi (16), Inan (16), Harun (16), Misriadi (17) penduduk Air Joman dan Bandar Tinggi yang lari pada tanggal 27 September 1996 dan sempat terapung-apung selama lebih kurang 7 jam (Waspada, 01/10/1996).
 
Hasil investigasi penulis sendiri yang berhasil menemui ketiga buruh anak yang lari tersebut menunjukkan bahwa mereka lari karena tidak tahan dengan situasi kerja di jermal. Pengakuan Inan sendiri yang sudah bekerja 4,5 bulan bahwa keinginan lari tersebut disebabkan karena jam kerja yang panjang, waktu istirahat sangat sedikit dan kerinduan pada orang tua dikampung (Air Joman).
Bila dilihat lebih jauh, ternyata bangunan jermal sangat rawan sebab tidak dilengkapi dengan alat pengaman seperti pelampung dan obta-obatan. Bila jermal suatu saat rubuh terkena ombak besar atau badai, keselamatan buruh jermal ini sangat terancam dan tergantung pada nasib baik.

System Kerja Eksploitatif
Bila ditelusuri, ternyata buruh-buruh anak yang bekerja di jermal kondisinya sangat tragis dan eksploitatif bahkan cenderung sebagai system rodi yang diterapkan pada masa penjajahan Belanda.
Bagaimana tidak, pada pukul 02.00 WIB dinihari buruh-buruh jermal ini sudah dibangunkan oleh mandor dan diharuskan mengangkat jarring dengan menggunakan katrol tangan dan ini biasa mereka sebut sebagai proses penggilingan. Sehabis melakukan proses penggilingan ini, buruh-buruh diharuskan menyortir (memilah) hasil tangkapan tersebut. Ikan dikelompokkan dengan ikan, demikian juga dengan teri dan sotong. Setelah disortir, proses selanjutnya adalah perebusan agar hasil tangkapan tersebut tidak busuk. Ikan-ikan yang telah direbus selanjutnya adalah dikeringkan/dijemur.
 
Demikian seterusnya setiap dua jam sekali buruh-buruh ini melakukan proses penggilingan sampai dengan pengeringan. Terkadang mereka juga harus menceburkan diri ke laut untuk memperbaiki jarring yang sobek. Dengan kondisi ini buruh-buruh jermal harus membanting tulang. Praktis mereka terisolir dan buta akan informasi. Umumnya buruh yang bekerja di jermal in berusia 14-16 tahun dan bahkan ada juga yang berusia 12 tahun. Suatu usia dimana seharusnya mereka dalam situasi belajar dan bermain.
Suatu penelitian mengungkapkan, buruh anak yang bekerja di jermal berasal dari daerah yang jauh dari desa nelayan dan umunya mereka tidak mengetahui kalau mereka akan dipekerjakan di jermal. Sehingga dengan demikian keberadaan buruh jermal tidak terlindungi oleh perangkat hukum padahal mereka seharusnya mereka menuru ketentuan juridis formal yang ada mereka dilindungi oleh hukum positif di Indonesia.

Munculnya Buruh Anak
Berbagai penelitian mengungkap latar belakang kemunculan buruh anak telah banyak diekspos. Namun acapkali data yang diungkap merinci munculnya buruh anak sebagai akibat factor ekonomi keluarga (kemiskinan). Padahal factor ekonomi keluarga merupakan sebagian kecil dari alasan munculnya buruh anak. Factor budaya, permintaan pasar, relokasi industri merupakan factor lain dari adanya buruh anak.
Namun dari fktor-faktor yang disebutkan di atas yang paling menonjol adalah factor permintaan (demand) dan relokasi industri. Untuk factor permintaan ini merupakan factor yang spesifik. Ini karena karakteristik yang dimiliki oleh buruh anak. Para buruh anak dibutuhkan, disenangi dan dengan sendirinya banyak dicari oleh para majikan atau pemberi kerja. Di sector formal atau industri, pada umumnya buruh anak disukai karena mereka mudah diatur, tidak banyak menuntut dan bersedia dibayar murah dibandingkan dengan buruh dewasa. Bahkan pada pekerjaan-pekerjaan tertentu kualitas pekerjaan buruh anak itu lebih baik jika dibandingkan dengan buruh dewasa.

Di Pantai Timur Sumatera Utara (Asahan, Labuhan Batu dan Deli Serdang) misalnya ditemukan banyak anak-anak yang dipekerjakan di jermal-jermal dengan kondisi amat memprihatinkan, antara lain upah rendah, jam kerja panjang dan tidak teratur, tidak diperkenankan meninggalkan lokasi kerja untuk waktu tetentu dan sebagainya. Alasan para majikan untuk mempekerjakan anak-anak disana selain karena alasan di atas, juga dengan alasan bahwa mempekerjakan anak akan jauh lebih aman dibandingkan mempekerjakan buruh dewasa. Mempekerjakan buruh dewasa disini jelas mengandung resiko tinggi bagi mandor atau pemiliknya, karena bila mereka diperlakukan dengan semena-mena, sewaktu-waktu mereka juga dapat melawan.
 
Di sector informal, pada pekerjaan-pekerjaan rumah tangga (domestic works), ada permintaan yang kuat akan buruh anak, khususnya wanita sebagai pengasuh anak, teman bermain anak, serta sekaligus untuk melakukan pekerjaan rumah tangga lainnya. Demikian juga di sector jasa, banyak anak-anak yang bekerja pada sector ini karena anak-anak seringkali dianggap lebih serasi dan lebih trampil dalam mejajakan barang dan jasa, serta lebih mengundang simpati para pembelinya.
 
Sedangkan factor relokasi industri seringkali ditunjuk sebagai salah satu penyebab timbulnya masalah buruh anak di sector formal, karena Indonesia menerima cukup banyak relokasi industri dari tidak saja Negara-negara di Asia Timur (Jepang, Korea, Taiwan dan Hongkong) tetapi juga Negara-negara Asia Tenggara.

Perangkat Hukum dan Pegawasan
Mungkin masih ada di antara kita yang belum menyadari bahwa sampai saat ini ketentuan yang berlaku tentang perlindungan hukum buruh anak adalah peraturan perundang-undangan zaman Hindia-Belanda, yaitu Ordonansi 17 Desember 1925 yang menetapkan bahwa anak usia dibawah 12 tahun tidak diperkenankan untuk bekerja. Batasan usia tersebut kemudian berubah pada lembaran Negara No.8 tahun 1940 (dari 12 menjadi 14 tahun) tetapi hanya untuk kerja malam. Pemerintah Indonesia memang kemudian mengelurkan UU No. 1 tahun 1951 yang memberlakukan UU No.12 tahun 1948 di seluruh Indonesia yang menetapkan batasa usia 14 tahun tidak boleh bekerja. Tetapi perlu diketahui UU No.1 tahun 1951 pasal 2 yang menyangkut batasan usia kerja, sampai sekarang sulit untuk dilaksanakan karena belum ada peraturan pemerintah yang mengaturnya.

Pemerintah dalam hal ini Depnaker pada tahun 1987 mengeluarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. 1 tahun 1987 yang mengatur mengenai anak-anak yang terpaksa bekerja harus bekerja. Pada Permenaker No.1 tahun 1987 ini anak usia 14 tahun kebawah diperkenankan bekerja maksimum 4 jam per hari. Permenaker ini secara juridis formal tidak bisa dilaksanakan karena bertentangan dengan UU No.12/1948 jo UU No.1/1951 dan ketentuan Ordonansi 17 Desember 1925.

Selain itu mengenai pengawasan penggunaan buruh anak diatur dalam UU No.3 tahun 1951. dalam undang-undang ini ditegaskan bahwa aparat yang berwenang untuk melakukan pengawasan adalah para pengawas ketenagakerjaan (labour inspectors) yang berada di bawah Departemen Tenaga Kerja. Pada saat ini jumlah pengawas ketenagakerjaan ialah sekitar 1.200 orang di seluruh Indonesia, dari jumlah tersebut hanya 700-800 orang yang operasional. Hal ini sangat menyulitkan mengingat masing-masing pengawas harus mengawasi lebih dari 3.000 perusahaan.

Dalam realisasinya ternyata pengawas ketenagakerjaan menghadapi kesulitan lain. Anak-anak yang ditemukan di duga berusia di bawah ketentuan usia kerja, seringkali telah dibekali surat ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa mereka telah berusia dewasa. Hal lain yang juga mempersulit tindakan hukum ialah kondisi ekonomi keluarga setempat yang biasanya sangat miskin, sehingga menyebabkan anak-anak terpaksa bekerja. Hal ini mungkin membuat para pengawas terpaksa harus menutup mata dan membiarkan adanya pelanggaran, terutama pada kasus mempekerjakan anak-anak di jermal Pantai tinus Sumatera Utara.
 
Dari apa yang dikemukakan di atas merupakan sederetan fakta betapa buramnya keadaan buruh anak di Indonesia. Di satu sisi peraturan perundang-undangan yang tidak tegas melindingi mereka terhadap bahaya eksploitasi, di sisi lain eksintensi mereka diperlukan baik sebagai penyokong ekonomi keluarga maupun industri yang padat karya.

Kepedulian pemerintah terhadap penanggulangan buruh anak belum sepenuhnya sampai pada satu pemikiran untuk menghapusnya. Bila kembali kebelakang melihat keseriusan pemerintah orde Lama untuk mengundangkan UU No.12/1948 dan UU No.1/1951 untuk hanya sekedar memberikan perhatian betapa perlu melindungi anak-anak dari situasi kerja yang eksploitatif. Padahal situasi politik pada waktu itu belum stabil. Dan kalau kita mau jujur perhatian internasional terhadap buruh anak belum ada sama sekali, namun pemerintah kita telah melakukan langkah yang belum terpikirkan.

Saat ini dimana kondisi politik yang jauh lebih stabil dan perhatian internasional mulai tertuju pada anak, perlindungan buruh anak semakin berkurang. Malah Depnaker mengizinkan anak-anak umur dibawah 14 tahun untuk bekerja melalui Permenaker 1 tahun 1987.

Sumber: Harian Waspada, 14 November 1996, hlm. 14

No comments:

Post a Comment