Search This Blog

Tuesday, February 22, 2011

Jaringan Sosial: Anak-anak Dijadikan Objek Seks Komersial

Oleh: Ahmad Sofian

Beberapa hari belakangan ini kita terperanjat dengan mencuatnya kasus-kasus prostitusi yang menimpa anak-anak melalui jaringan sosial Facebook. Bahkan, Kompas menjadikan masalah ini headline pemberitaan pada 8 dan 9 Februari.

Media televisi pun tak kalah gencar, seolah-olah masalah ini adalah tontonan yang menarik disaksikan oleh publik sehingga adanya gerakan moral untuk segera bertindak.

Kasus prostitusi anak yang terungkap dalam jaringan sosial ini merupakan bagian dari kejahatan seksual yang disebutkan dengan eksploitasi seksual komersial anak (ESKA). ESKA ini merupakan bentuk kejahatan seksual yang terorganisasi yang obyeknya adalah anak-anak. Sejumlah bentuk ESKA yang kerap kali dijumpai di Indonesia adalah pornografi anak dan pelacuran anak.

Orang awam mungkin akan sulit menerima kenyataan bahwa anak-anak yang melacurkan diri merupakan bagian dari eksploitasi seksual walaupun anak-anak tersebut memutuskan diri secara ”sukarela”. Namun, keputusan anak untuk menjadi obyek seks komersial tidak bisa diterima karena anak tidak cakap secara hukum untuk memutuskan diri menjadi obyek seks. Berbeda halnya dengan orang dewasa yang ”boleh” memutuskan dirinya menjadi obyek seks komersial walaupun masih menjadi perdebatan yang belum selesai.
Patut dipertimbangkan, keputusan badan dunia PBB yang telah ”mengharamkan” anak-anak masuk dalam dunia prostitusi, tidak peduli latar belakang masuknya anak tersebut dalam prostitusi apakah secara sukarela atau dorongan orangtua atau karena sindikasi kejahatan, yang penting negara harus segera bertindak untuk menghapuskan kejahatan ini dan merehabilasi anak-anak yang menjadi korban prostitusi.

Kejahatan seksual
Masuknya anak-anak dalam dunia prostitusi dan dunia pornografi di internet dianggap sebagian orang sebagai kebebasan anak untuk berekspresi. Ternyata implikasi dari kebebasan berekspresi bagi anak anak di internet menimbulkan masalah baru, yaitu anak-anak terperangkap dalam jaringan sindikat kejahatan seksual. Orang sering lupa bahwa para pelaku kejahatan seksual sudah lama memanfaatkan internet sebagai media untuk mendapatkan anak-anak.

Seorang pedofil (seseorang yang menyukai anak-anak untuk berhubungan seks) misalnya acapkali bertahan berjam-jam di depan internet untuk mendapatkan mangsanya, bahkan bisa menyamar sebagai teman baik anak dan bisa chatting berjam-jam dengan anak. Dia akan sangat sabar untuk bisa bertemu dengan anak. Pedofil pun bisa memperjualbelikan foto-foto seks anak kepada jaringan pedofil lain di seluruh dunia.
Bentuk kejahatan seksual lain yang ditemukan di internal adalah anak-anak diperjualkanbelikan di dalam internet. Ada sejumlah website terselubung yang memperjualkan anak untuk tujuan seksual. Sebagian anak ada yang hanya dijadikan obyek pornografi dan sebagian anak lainnya bisa digunakan untuk tujuan prostitusi. Hasil penelusuran saya beberapa tahun yang lalu menemukan sejumlah website yang menampilkan anak perempuan yang masih belasan tahun di website. Pemilik website tersebut tidak berdomoisili di Indonesia, tetapi anehnya website tersebut menampilkan anak perempuan Indonesia sebagai obyeknya.
Website , chatting, telepon, dan terakhir Facebook telah menjebak anak-anak kita dalam perangkap kejahatan seksual. Walaupun banyak pihak memberikan apresiasi terhadap penegak hukum atas pengungkapan kasus kejahatan seksual anak melalui Facebook di Surabaya, pengungkapan kasus ini merupakan pengembangan dari pengaduan masyarakat. Tanpa ada pengaduan masyarakat, polisi kita sulit membongkar kasus ini. Kepolisian kita tidak memiliki keahlian khusus dalam melakukan investigasi terhadap kejahatan seksual yang menimpa anak-anak.

Unit perlindungan perempuan dan anak (PPA) yang ada di setiap polres/poltabes ternyata tidak diisi oleh orang-orang yang ahli dan profesional dalam bidang mengungkap kejahatan seksual pada anak. Padahal, para pelaku kejahatan seksual anak adalah orang-orang yang profesional dan punya keahlian yang tinggi dalam merekrut anak-anak untuk dijadikan obyek seksual komersial. Yang saat ini berhasil diungkap adalah kasus-kasus kejahatan seksual yang dilakukan oleh orang-orang yang kurang profesional dan cara kerjanya pun sangat mudah diidentifikasi oleh orang awam sekalipun.

Kekosongan hukum
Kejahatan seksual yang menimpa anak-anak masih belum mendapatkan tempat yang baik di dalam sistem hukum Indonesia. Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No 23/2002) memang memberikan ancaman hukuman bagi pelaku kejahatan eksploitasi seksual, tetapi sayangnya tidak diatur lebih lanjut batasan dan unsur-unsur eksploitasi seksual tersebut sehingga membingungkan para polisi kita. Sebagai contoh, seseorang tidak bisa dipidana apabila membeli seks kepada anak-anak, kecuali jika ada pengaduan dari anak atau orangtuanya atau kasus tersebut tertangkap basah seperti yang berlangsung di salah satu hotel di Surabaya.

Artinya kriminalisasi terhadap orang-orang yang membeli seks kepada anak belum dianut dalam hukum Indonesia. Membeli seks adalah bagian dari traksaksi yang ”halal” dan polisi tidak bisa mengkriminalkan pelaku atas tuduhan membeli seks. Polisi baru bisa bertindak jika pembeli dan anak yang menjadi obyek seks tertangkap basah di dalam kamar dan bisa dibuktikan sudah melakukan hubungan seks. Situasi hukum Indonesia ini ternyata sangat bertentangan dengan hukum internasional yang mengatur masalah ini.

Indonesia sampai saat ini belum meratifikasi optional protocol Konvensi Hak-hak Anak tentang Perdagangan Anak, Pelacuran Anak, Pornografi Anak. Akibat belum harmonisnya hukum kita dengan standar internasional, jumlah pelacuran anak meningkat pesat. Untuk mengisi kekosongan ini ada dua alternatif yang bisa ditempuh. Pertama, ratifikasi optional protocol tersebut lalu diikuti dengan merevisi Undang-Undang Perlindungan Anak. Jalur kedua yang lebih cepat adalah membuat surat keputusan bersama antarpenegak hukum, yaitu Jaksa Agung, Polri, dan Mahkamah Agung untuk mengkriminalkan pembeli seks kepada anak-anak dan memberikan tafsir yang lebih konkret tentang eksploitasi seksual pada anak-anak.

Ahmad Sofian: Koordinator Nasional Koalisi Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak serta Ketua Badan Pengurus Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA)


Sumber: KOMPAS, ed. Senin, 22 Februari 2010 | 03:56 WIB

No comments:

Post a Comment