Search This Blog

Tuesday, February 22, 2011

Anak Kita Terperangkap dalam Situasi Konflik

Oleh : Ahmad Sofian

Dua konflik yang terjadi beberapa hari belakangan ini yang memberikan citra buruk pada masa depan anak Indonesia adalah kontak senjata dan penangkapan terduga teroris oleh kepolisian Republik Indonesia dan penyerangan Jemaah Ahmadiyah oleh sekelompok massa. Dua kejadian ini bakalan terus terjadi dan terulang lagi selama negara gagal dalam menyelesaikan masalah ini dan membiarkan konflik ini terjadi. Pertikaian ideologi (teroris atau saparatis) acap kali menimbulkan kegagalan negara dalam memperhatikan kebutuhan dan pemenuhan hak hak anak. Anak-anak dibiarkan oleh negara dalam posisi rentan dan tanggung jawab pemenuhan haknya diserahkan kepada keluarga anak tersebut. Seterusnya anak dibiarkan berkembang dalam proses yang tidak wajar karena tiadanya perhatian negara yang sungguh-sungguh untuk menyelamatkan masa depan mereka. Anak terkebiri dengan situasi rentan dan mendapatkan stempel negatif masyarakat disekitarnya maupun masyarakat yang terprovokasi dengan pemberitaan media.
 
Anak-anak yang orang tuanya diduga teroris atau anggota jemaah Ahmadiyah menjadi sesuatu yang menakutkan. Peristiwa yang hampir mirip pernah juga dialami oleh anak-anak yang orang tuanya anggota Partai Komunis Indonesia yang diduga terlibat dalam peristiwa G 30 S PKI. Walaupun peristiwa ini berbeda dalam konteks situasi dan waktu, namun memiliki kemiripan dimana negara tidak memberikan langkah-langkah konkrit untuk menghilangkan stigma buruk dari masyarakat, akibatnya banyak anak-anak yang sulit meneruskan pendidikan di sekolah asal dan harus berpindah-pindah, demikian juga kelak ketika dewasa, anak sulit mendapatkan pekerjaan. Konflik vertikal dan horizontal ini menyisakan suatu kehancuran masa depan anak-anak kita. Anak-anak yang terjebak dalam konflik ini terpaksa hidup dalam kesengsaraan yang tidak pasti.

Bila merujuk pada Konvensi Hak Anak maka anak-anak yang disebutkan di atas digolongkan sebagai anak-anak berada dalam situsi sulit yang memerlukan perlindungan khusus dari negara. Hak-haknya sebagai seorang anak harus diperlakukan sama dengan anak-anak lain pada umumnya, sehingga siapapun tidak boleh memberikan justifikasi buruk pada anak tersebut dan negara sangat berperan dalam memastikan semua kebutuhannya sebagai seorang anak terpenuhi dan negara diwajibkan untuk mengambil langkah-langkah yang bisa mencegah dari sesuatu yang membahayakan kepentingan terbaik anak. Anak harus dipandang sebagai seseorang yang belum bisa memutuskan untuk memilih pandangan politik yang diyakininya, anak juga belum bisa memutuskan aliran idiologi, anak berada dalam pengampuan orang tuanya atau walinya sehingga dia akan senantiasa mengikuti proses pengampuan tersebut. Jika ternyata pandangan politik orang tuanya berbeda dengan pandangan politik yang dibenarkan oleh negara bukan berarti anak juga patut dipersalahkan, ini merupakan konsekuensi logis sebagai anak yang belum mampu memahami aliran politik yang benar atau dibenarkan. Harus ada upaya untuk menghilangkan label “like father like son”. Anak-anak sudah cukup tersiksa dan terguncang secara fisik dan maupun psikis. Mereka pun acap kali tidak memahami aktivitas politik orang tuanya sehingga mempersalahkan mereka sama artinya dengan mempersalahkan ketidaktahuan mereka.

Tiga Kemungkinan
Kenyataan dengan dibiarkannya anak-anak mengalami labelisasi, stigmatisasi, cenderung dihakimi serta pemberian sanksi sosial menunjukkan belum adanya program pemerintah untuk mengatasi masalah ini. Situasi ini diperburuk lagi oleh tidak sensitifnya media kita terhadap rasa kemanusiaan dan hak asasi anak dan cenderung mengejar rating pemberitaan. Negara harus segera melakukan intervensi konkrit yang bisa menyelamatkan anak-anak ini. Jika negara tidak melakukan langkah konkrit dalam memenuhi hak-hak anak maka ada tiga kemungkinan yang akan dihadapi anak; pertama anak-anak tertentu yang memiliki kemampuan luar biasa akan tumbuh dan berkembang laiknya seperti individu biasa, mereka mampu melupaka kejadian buruk yang pernah yang dialaminya; namun perlu dicatat jumlah anak-anak yang punya kemampuan ini sangat terbatas. Kedua, anak akan terombang ambing dalam situasi yang tidak pasti yang berakibat pada hilangnya rasa empati dan menjadi sangat frustasi dalam memandang dirinya dan lingkungannya; dalam situasi ini berbagai kemungkinan bisa saja terjadi pada anak ketika dewasa kelak, namun dia akan tumbuh menjadi individu yang tidak pernah melupakan masa-masa pahit yang pernah dialaminya. Ketiga, anak-anak akan meneruskan misi dari orang tuanya karena ada anggapan misi orang tuanya belum tuntas terlaksana, misi orang tuanya ini akan dijalankannya ketika dewasa kelak. Kemungkinan kedua dan kemungkinan ketiga ini yang patut dieliminasi oleh negara sehingga tidak memunculkan kebencian yang diwariskan pada negara atau pada kelompok orang tertentu. Kebencian ini disebabkan karena belum sembuhnya trauma yang menghinggapi diri anak, atau terlalu kuatnya idiologi yang ditanamkan oleh orang tua pada anak tersebut sehingga perlu waktu yang cukup untuk segera memulihkannya

Jalan Keluar
Anak-anak yang terjebak dalam situasi konflik memerlukan perlindungan khusus dan harus menjadi agenda prioritas negara, karena konflik yang disebabkan oleh perbedaan pandangan politik dan perbedaan idiologi masih berpotensi untuk terus berlangsung karena strategi penangan konflik tidak kunjung ada dan cenderung dibiarkan. Dua kementerian negara yang sangat bertanggung jawab untuk menuntaskan persoalan anak yang terjebak dalam konflik ini adalah Kementerian Sosial dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Dua kementerian ini harus bisa merumuskan kebijakan yang jitu dan harus berani masuk dalam area konflik untuk menyelamatkan masa depan anak negeri ini. Kedua kementerian yang juga wakil dari negara harus mengambil langkah langkah segera untuk menghilangkan labelisasi dan stigmatisasi buruk dari masyarakat terhadap anak, berkewajiban memberikan konseling jika anak-anak mengalami trauma, memberikan jaminan sosial masa depan dalam bidang pendidikan dan kesehatan, memberikan dukungan pada keluarga (family support), dan jika diperlukan mencarikan orang tua angkat termasuk mengawasi orang tua angkat tersebut. Kesemua langkah ini pun harus dikomunikasikan secara transparan kepada keluarga dan masyarakat sehingga dukungan penyelamatan anak Indonesia dari kehancuran, kebencian dan labelisasi akan terkikis. Medan, 4 Oktober 2010


[i] Penulis adalah Ketua Badan Pengurus Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) dan staf pengajar Fakultas Hukum UMSU.

No comments:

Post a Comment