Search This Blog

Tuesday, February 22, 2011

Situasi Anak Jalanan di Kota Besar

Oleh: Ahmad Sofian

Seperti biasanya setiap tanggal 23 Juli diperingati sebagai Hari Anak Nasional didasarkan pada Keppres No.4 tahun 1984. Tentunya sebahagian anak menyambutnya dengan penuh suka. Bahkan peringatan kali ini berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, dikarenakan tahun 1996 dicanangkan sebagai tahun Anak Nasional oleh Presiden Soeharto. Kegembiraan anak ini diikuti dengan berbagai kegiatan, antara lain baca puisi, lomba cipta lagu anak, lomba anak sehat dan sebagainya. Kegiatan tersebut tentu dengan maksud menyemarakkan hari anak nasional.
 
Wajar bila berbagai aktivitas dan perlombaan dilakukan pada setiap hari anak, sebab anak merupakan harapan dan penerus generasi bangsa. Sejak awal perhatian terhadap anak harus ditumbuhkan. Mustahil suatu negara akan maju bila kondisi anak-anak tak mendapat perhatian, baik gizi, pendidikan maupun kesehatannya. Berbagai organisasi, lembaga yang menangani anak tumbuh pesat. Bahkan PBB sendiri telah lama mengkampayekan tentang perlindungan anak (convention on right of the child, 1988).

Namun tidak semua anak Indonesia bersama-sama dengan anak yang lain merayakan hari jadinya. Masih banyak anak-anak yang terpaksa oleh keadaan ekonomi keluarganya yang minim terjun ke jalan mencari nafkah apakah menyemir sepatu, menjual koran, menjual rokok, kernet bus, atau bahkan menawarkan jasa payung ketika hujan lebat, pengamen dan lain sebagainya. Banyak pula anak-anak yang harus mendekam dalam rumah tahanan negara (rutan), Lembaga Permasyrakatan Anak, yang karena “keadaan” tertentu terperangkap dalam tindak kriminal. Ada pula anak-anak yang berada di tengah lautan dipekerjakan dalam jermal-jermal, atau bekerja di perusahaan-perusahaan tertentu.

Begitu kompleksnya keadaan anak sehingga dalam kesempatan ini penulis hanya mengarah satu sisi anak, yaitu anak jalanan yang tumbuh pesat sesuai dengan pesatnya pembangunan perkotaan.

Munculnya Anak Jalanan
Untuk menemukan anak jalanan tidak sesulit seperti mencari jarum jatuh. Anak-anak jalanan akan mudah ditemui di setiap persimpangan lampuh merah di terminal, di sela-sela pertokoan, diperkantoran, bahkan restauran kerap kali anak-anak penyemir sepatu menghampiri, atau di tempat tukang pangkas sekalipun anak jalanan muncul. Lalu yang menjadi pertanyaan hadir di sudut kota besar?

Berbagai penelitian telah banyak mengekspose latar belakang munculnya anak jalanan di kota besar. Jika dilontarkan satu pertanyaan, “apakah ada hubungan antara perkembangan perkotaan dengan anak jalanan?” otomatis jawaban mengatakan bahwa ada hubungan antara perkembangan perkotaan dengan anak jalanan. Argumentasinya adalah sebagai berikut: secara langsung dapat dilihat, dimana ada pusat keramaian ekonomi sudah dipastikan disitu akan ditemui anak-anak. Karena perkembangan perkotaan identik dengan pembangunan pusat-pusat perekonomian. 

Pertanyaan selanjutnya: mengapa anak-anak turun ke jalanan dan bagaimana hubungan dengan perkembangan perkotaan. Jika dipertanyakan kepada perencana pembangunan kota (pemerintah), maka jawabnya adalah: dalam perencanaan pembangunan untuk memunculkan sejumlah permasalahan sosial jalanan. Tetapi ilmuwan sosial, pemerhati masalah sosial, LSM, akan berkata lain: permasalahan sosial merupakan implikasi dari pembangunan perkotaan.

Pendapat lain mengatakan sebagai akibat kota yang merupakan pusat-pusat aktivitas kehidupan melahirkan banyak friksi (pergeseran-pergeseran) seperti individualistis, egoistis, konsumtif, kesenjangan sosial, seregasi dan lain-lain. Friksi yang muncul tersebut melahirkan permasalahan. Keluarga yang tidak mampu harus menyingkir dari kota, atau tinggal di kantong-kantong pemukiman kumuh dan ilegal. Secara ekonomi keadaan ekonomi keluarga tersebut sangat sulit. Akibtanya seluruh anggota keluarga harus bekerja. Demikian halnya dengan anak-anak mereka, turun ke jalanan untuk membantu meringankan ekonomi keluarga. Dari sisi lain, pedesaan yang kalah bertarung dan kian makin mengundang urbanisasi tidak saja pada orang dewasa, tetapi juga anak-anak. Dan kemungkinan penyebab ini bisa dibenarkan jika kita amati latar belakang geografis anak-anak jalanan yang umumnya datang dari daerah pedesaan yang miskin. 

Situasi dan problema
Sebagian anak jalanan berasal dari keluarga miskin. Bayak di antara mereka yang di paksa untuk mencari uang, mengisi kekurangan ekonomi. Seringkali bukan penghargaan atau kasih sayang yang mereka peroleh ketika kembali dari “ladang” melainkan tinju dan tendangan dari pihak orang tua, apalagi jika kebmbali ke rumah tanpa pendapatan. Banyak pula diantara anak-anak jalanan berasal dari keluarga yang tidak harmonis. Mereka memang tidak bekerja, tetapi menjadi sasaran kekerasan dari orang dewasa. Kondisi di keluarga mendorong anak-anak untuk memutuskan hubungan dengan keluarga dan hidup di jalanan. 

Anak jalanan senantiasa menjadi objek kekerasan. Di Medan, selama 6 bulan terakhir saja menurut catatan LAAI (Lembaga Advokasi Anak Indonesia) terdapat lebih dari 40 oknum petugas keamanan atau preman. Separuh diantara mereka disiksa entah dengan di siram air panas, dilempari batu, disundut rokok, disilet maupun dipukuli. Banyak pula yang mengalami pelecehan seksual seperti dipaksa bersenggama atau disodomi.

Peristiwa sejenis dialami oleh anak-anak jalanan di Jakarta, Bandung dan Yogyakarta. Di sebelah belahan kota Bandung, seorang anak dipukuli oleh oknum pihak kepolisian karena keluarga anak itu, yang hendak diminati uang tebusan (pelepasan kakak kandungnya) tidak ditemukan oleh pihak kepolisian. Pada bulan Januari 1995, lebih dari 10 anak jalanan, pedagang asongan ditangkapi ketika sedang menjual surat kabar dan minuman botol di salah satu stasiun kereta api. Salah satu dari mereka disiksa dan dipaksa membersihkan lantai stasiun dengan lidahnya.”….Saya dipaksa berbaring, aparat keamanan kemudian membawa setrika listrik. Ketika setrika itu digosokkan pada kulit, saya menangis karena sakit sekali. Kulit saya melepuh. Saya kemudian dipaksa menjilati lantai stasiun. Ketika saya menolak, salah satu dari mereka menampar saya. Rasanya sakit sekali…..”

Hingga sekarang anak-anak pedagang asongan mengalami kesulitan menawarkan atau menjajakan barang dagangannya yang sangat berarti bagi kelangsungan hidup mereka. Untuk berdagang pun mereka harus main kucing-kucingan dengan petugas keamanan. Yang selalu digunakan sebagai alasan pembenar oleh petugas adalah Perda program kebersihan kota. Sumbernya adalah kebijakan pembangunan perkotaan (seperti tercermin pada piala Adipura) yang justru menyingkirkan anak-anak jalanan.

Sementara itu anak-anak jalanan menjadi objek perdagangan tenaga kerja. Mereka diculik oleh calo-calo tenaga kerja dibawa ke “jermal” (bagan penangkapan ikan di tengah laut) diserahkan pada pemilik jermal untuk menjadi tenaga kerja. Biasanya calo-calo ini mendapat “upah” sekitar Rp. 10.000 per kepala. Sementara kondisi kerja jermal sangat buruk.

Penanganan
Meskipun Undang-Undang Dasar 1945 pasal 34 secara tegas menyatakan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara, juga telah diberlakukan Undang-Undang No.4 tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak serta ikut menandatangani Konvensi Hak-Hak Anak pada bulan September 1990, akan tetapi masalah anak jalanan masih menjadi masalah yang krusial, oleh karena keberadaannya makin hari makin meningkat.

Namun dengan demikian hingga saat ini tidak satu pun pemerintah kota yang mempunyai kebijakan yang eksplisit untuk penanganan masalah anak jalanan. Bentu penanganan yang lebih banyak dilakukan oleh pihak pemerintah adalah bentuk penanganan panti.

Umumnya sikap masyarakat terhadap anak jalanan mencerminkan anggapan bahwa mereka tidak dapat ditolong lagi atau mereka disingkirkan lalu di bina di panti-panti asuhan yang penanganan pendidikannya masih dianggap konvensional. Penanganan seperti ini justru membuat anak menjadi tidak kerasan, banyak yang kabur dari panti penitipan karena anak-anak tersebut sudah lekat dengan budaya jalanan, atau dengan cara menyingkirkan mereka karena dianggap mengotori kota.

Kita perlu mencari jalan keluarnya untuk menangani anak jalanan yang sering kali diperlakukan tidak manusiawi dari oknum-oknum. Peristiwa tragis bagi anak jalanan tersebut menambah tekanan beban mental dan kejiwaannya. Perlu ditinjau kembali, difikirkan dan dievaluasi bahwa pengertian pembinaan itu tidak cukup satu hari, satu minggu, atau satu tahun, bahwa pembinaan tidak cukup dengan hanya memberikan sesuatu yang bersifat materi. Pembinaan perlu berdasar dari akar permasalahannya, serta penanganan yang kontiniu dan konsisten.

Akar permasalahan tersebut dapat dilihat dari latar belakang dan status sosial anak jalanan yang pada umumnya berasal dari kelas ekonomi lemah. Dan dilingkungannya sendiri terdapat penindasan sehingga mereka tidak dapat berkembang seperti anak pada umumnya. Oleh karena itu, program jangka panjang terhadapa anak jalanan tidak dapat dilepaskan dari upaya mengatasi masalah kemiskinan yang melingkupi kehidupan anak jalanan.

No comments:

Post a Comment