Search This Blog

Tuesday, February 22, 2011

Fenomena Munculnya Buruh Anak

Oleh: Ahmad Sofian

Peringatan Hari Anak Nasional (HAN) tahun ini sedikit berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, sebab untuk pertama kalinya presiden RI mencanangkan tahun ini sebagai tahun Gerakan Perlindungan Anak (GPA). Pencanangan GPA ini seiring dengan pembentukan Lembaga Perlindungan Anak (LPA) di Taman Mini Indonesia Indah. Juga hal yang menarik dari peringatan tahun ini adalah diundangnya para anak yang mewakili Negara-negara ASEAN untuk hadir bersama-sama dengan anak-anak Indonesia dai 27 provinsi.
Namun maraknya peringatan HAN ternyata masih saja tidak menyentuh anak-anak Indonesia yang berada dipelososk negeri yang terpuruk pada system kerja yang sangat eksploitatif. Lihat saja lebih dari 10.000 anak bekerja di jermal Pantai Timur Sumut, brurh anak diperkebunan, buruh anak dipabrik sebagai penyokong akumulasi capital, buruh anak di sector manufaktur dan buruh anak disektor informal yang dikenal sebagai anak jalanan (street kids). Kesemua buruh anak ini tak terlibat dalam gegap gempita peringatan HAN yang ke-13.
 
Berbagai data dan fakta yang ada menunjukkan memang masih banyak anak-anak usia 10-15 tahun yang secara ekonomi aktif bekerja. Alasan mempekerjakan anak ini oleh pengusaha karena buruh anak dapat digaji murah, mudah diatur , tidak banyak menuntut, produktivitas tinggi dan dalam beberapa sector tertentu kualitas pekerjaan buruh anak lebih baik dibandingkan buruh dewasa. Namun demikian, realitas yang ada menunjukkan belum ada suatu studi komprehensif yang mengungkapkan situasi yang sebenarnya buruh-buruh anak tersebut. Yang ada hanya hasil survey kuantitatif terhadap buruh anak.
 
Minimnya studi-studi untuk membuktikan kurang beruntungnya kondisi anak-anak yang bekerja merupakan suatu tanda bahwa eksistensi dan permasalahan buruh anak masih menjadi perhatian kalangan yang terbatas. Kepedulian terhadap buruh anak baru timbul apabila ada kasus-kasus yang mengerikan, seperti perdagangan, penipuan dan penculikan anak untuk dipekerjakan, penyekapan buruh anak di pabrik-pabrik selama berbulan-bulan, tewasnya buruh anak atau pada peringatan khusus hari anak.
 
Pemerintah maupun masyarakat terkesan belum menganggap persoalan buruh anak sebagai suatu masalah serius. Sikap terhadap eksistensi buruh anak juga belum ditegaskan. Masih menjadi perdebatan, apakah buruh anak dilarang atau dilegalkan, dibiarkan atau dilindungi. Ketidakjelasan ini berpengaruh terhadap Ketidakjelasan langkah atau tindakan yang diambil. Akibatnya, buruh anak berada dalam kondisi rentan, gejalanya masih jelas terlihat.
 
Kalau ditelusuri lebih jauh maka sebenarnya kondisi buruh anak bukanlah suatu fenomena baru di Indonesia. Dari segi budaya, beberapa kelompok suku bangsa tertentu, misalnya Jawa, telah mengirim anak mereka pada usia dini bekerja pada sanak saudara, untuk belajar bertanggungjawab seperti orang dewasa. Meskipun demikian, banyak anak bekerja karena alasan ekonomi, bukan alasan budaya.
Isu utama persoalan buruh anak ini adalah bukan terletak pada “pekerjaan itu sendiri” tapi lebih pada pengaruh negative dari bekerja yang lebih dini terhadap perkembangan mental social, emosional dan phisik anak. Anak usia 7-15 tahun boleh saja ikut dalam kegiatan ekonomi, jika dia memang membutuhkan pekerjaan, dan tugas yang diberikan masih dalam batas kemampuan mental dan fisiknya. Oleh karena itu, sekolah merupakan salah satu lingkungan paling penting terhadap perkembangan awal anak, maka partisipasi anak dalam angkatan kerja sedapat mungkin dilakukan dengan tetap mempertahankan mereka di sekolah. Dengan demikian perkembangan mental, social dan emosional mereka diharapkan tetap berlangsung secara normal.
 
Di Indonesia, pemakaian buruh anak tidak dilarang sepanjang memakai standar yang telah ditentukan oleh pemerintah, yaitu standar Permenaker No.01/1967 tentang anak-anak yang terpaksa bekerja. Dalam Permenaker tersebut dijelaskan bahwa boleh mempekerjakan anak di atas usia 14 tahun, dengan ketentuan pekerjaan tersebut tidak dilokasi yang berbahaya, jam kerja tidak lebih dari 4 jam per hari dan anak tetap dibolehkan untuk sekolah. Namun kenyataan yang ada di lapangan sering pengusaha tidak mengindahkan ketentuan tersebut dan tetap saja mempekerjakan anak di bawah usia 14 tahun, akibatnya, jumlah buruh anak dari tahun ke tahun meningkat.

Konsep Pendekatan Buruh Anak
Konsep pendekatan buruh anak dewasa ini masih menjadi perdebatan diantara pemakai kebijaksanaan. Seperti yang diungkapkan oleh seorang peneliti dari Yayasan Akatiga Bandung. Indrasari Tjandraningsih, setidaknya ada tiga pendekatan dalam memandang masalah buruh anak yaitu: penghapusan (abolition), perlindungan (protection), dan penguatan/ pemberdayaan (empowerment). Setiap pendekatan dilatarbelakangi oleh asumsi yang berbeda-beda. Pendekatan penghapusan muncul berdasarkan asumsi bahwa seorang anak tidak boleh bekerja karena dia harus sekolah dan bermain.
Pendekatan kedua muncul berdasarkan pandangan bahwa seorang anak sebagai individu mempunyai hak untuk bekerja. Oleh karena itu, hak-haknya sebagai pekerja harus dijamin melalui peraturan ketenagakerjaan sebagaimana yang berlaku untuk buruh dewasa, sehingga dia terhindar dari tindak penyalahgunaan dan eksploitasi. Pendekatan terakhir juga berangkat dari pengakuan terhadap hak-hak anak dan mendukung upaya penguatan buruh anak agar mereka memahami dan memperjuangkan hak-haknya.
 
Pendekatan yang paling banyak diyakini sekaligus paling sulit dilakukan adalah pendekatan yang ingin menghapus buruh anak dengan melarang mereka bekerja. Banyak negara dan lembaga-lembaga Internasional menganut pendekatan ini. ILO misalnya, mengeluarkan kebijakan yang bertujuan menghapuskan buruh anak (the elimination child labour), namun sebelum tujuan penghapusan ini tercapai, ditetapkan tujuan antara, yaitu melindungi buruh anak dari dampak negatif kerja mereka. Akan tetapi kebijakan tersebut menurut beberapa ahli kurang realistis, sebab sebagian besar buruh anak muncul akibat kemiskinan. Pendekatan tersebut hanya akan membawa dampak berupa kemiskinan yang lebih luas sekaligus mengingkari hak ekonomi anak.
 
Dua pendekatan lain, tampak sangat realistis dari sudut pandang buruh anak, pendekatan-pendekatan tersebut bila dikominasikan akan menawarka perlindungan dan memberikan ruang terhadap pengakuan hak-hak seorang anak, baik sebagai buruh maupun sebagai anak. Kombinasi dua pendekatan persfektif lain mengenal buruh anak, yaitu memanusiakan pekerjaan anak-anak dengan menggabungkan secara kreatif pekerjaan mereka dengan penyediaan pelayanan pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan.

Rekomendasi
Fenomena yang disebutkan di atas masih menunjukkan indikasi yang berbeda dalam melihat sosok buruh anak. Dengan perbedaan ini tentu saja berakibat perbedaan strategi: apakah menghapuskannya, memberdayakannya atau cukup hanya melindunginya saja? Namun kalau dilihat dari realita yang ada saat ini rasanya tidak realistis untuk menghapusnya. Dengan demikian perlindungan merupakan strategi yang tepat dalam melihat pendekatan terhadap buruh anak. Jika pendekatan ini yang dipakai, maka dalam tulisa ini ada rekomendasi yang bisa dijadikan referensi untuk melindungi buruh anak. Rekomendasi yang ditawarkan adalah dengan menambah strategi wajib belajar 9 tahun. 

Kalau dilihat dari data statistik yang ada maka sebagian besar buruh anak berada pada usia 10-15 tahun dan umumnya mereka adalah murid SD yang putus sekolah dan lulusan yang tidak melanjutkan ke SLTP. Alasan yang paling sering dikemukakan, murid SD yang tidak melanjutkan lagi adalah “tidak punya biaya”. Hal ini menunjukkan penghapusan SPP untuk SD Negeri Impres yang dilakukan sejak tahun 1977 tidak cukup mendorong anak usia SD untuk sekolah.

Orang tua masih harus mengeluarkan berbagai macam biaya yang cukup besar (misalnya pembelian buku dan baju), termasuk penghasilan anak yang hilang (forgone earnings) selama mereka sekolah. Pendidikan dasar dengan demikian lebih bersifat “sukarela” dari pada “wajib”, karena murid SD tidak bebas sama sekali dari seluruh biaya yang diperlukan. Unsur biaya yang paling sukar diatasi terutama bagi masyarakat lapis bawah, adalah penghasilan anak yang hilang selama mereka sekolah (opportunity cost).
Timbulnya opportunity cost ini tidak dapat dicegah oleh pemerintah karena ada-tidaknya dan tinggi-rendahnya ditentukan oleh permintaan terhadap tenaga kerja tidak terampil atau setengah terampil usia muda seperti buruh anak.

Dengan demikian wajib belajar 9 tahun bila perlu, harus diberikan tanpa biaya, dalam arti mereka dibebaskan dari semua pengeluaran untuk pendidikan (uang sekolah, pengeluaran untuk buku, seragam, transportasi) termasuk penghasilan yang hilang (forgone earnings) sementara mereka berada dalam sistem pendidikan. Transfer langsung dari pemerintah terhadap anak yang kurang beruntung perlu dilakukan sebagai pengganti sebagian atau seluruh penghasilan mereka yang hilang selama belajar di SD dan SLTP.

Sumber: Waspada, 23 Juli 1996, halaman 4

No comments:

Post a Comment