Search This Blog

Tuesday, February 22, 2011

ESKA: Buruknya Potret HAM Anak di Indonesia

Oleh : Ahmad Sofian

Abstract
Commercial Sexual Exploitation of Children (CSEC) is one of serious human rights violations, especially violation to the rights of the child. CSEC take the forms of child prostitution, child pornography and child trafficking for sexual purpose. Other forms of CSEC include child marriage and child sex tourism. The crime can be very harmful to children’s future and their community systematically. CSEC is a fact and still exists in Indonesia. The number of sexually exploited children in Indonesia keeps increasing every year. Unfortunately, the scourge is not addressed properly. It is a fact that CSEC prevention and victim recovery programs are not implemented seriously and effectively. Similarly, the existing laws still fail to prosecute and convict the perpetrator. Therefore, it is not a surprise if the UN Committee on the Rights of the Child finally states that the Indonesian Government is not serious in eliminating CSEC. I have made some recommendations in this writing and hope that decision makers in the country can consider them carefully so that they take immediate steps to save and protect Indonesian children from various forms of exploitations to make the country more civilized. 

Pendahuluan
Dalam dokumen Konvensi Hak Anak (KHA), anak diartikan sebagai seseorang yang belum berusia 18 tahun dan termasuk juga bayi yang masih di dalam kandungungan[1]. Walaupun batasan belum berusia 18 tahun sudah ditetapkan, namun konvensi ini masih memberikan peluang bagi setiap negara yang ingin membuat batasan usia lebih muda dibandingkan dengan yang ditetapkan oleh konvensi. Kesepakatan mengggunakan umur sebagai batasan anak memang pada awalnya mendapatkan berbagai pertanyaan dan menimbulkan pro dan kontra. Bagi kelompok yang kontra berargumen bahwa bisa saja seseorang yang telah berusia belum berusia 18 tahun namun sudah lebih dewasa dibandingkan dengan orang telah berusia lebih dari 18 tahun, sebaliknya bagi kelompok yang pro dengan batasan usia mengatakan bahwa ketentuan ini berlaku universal, sulit menentukan batasan kedewasaan jika menggunakan ukuran yang berbeda beda di setiap negara, karena hal ini akan merugikan anak tersebut. Batasan usia 18 tahun akan memberikan keuntungan tersendiri bagi anak dimanapun anak tersebut berada.
Jika usia yang dipergunakan untuk mendefinisikan anak bukan usia 18 tahun, maka perlindungan terhadap anak dari eksploitasi dan bentuk-bentuk kekerasan akan menjadi lebih sulit untuk dilakukan. Hal ini terjadi ketika anak-anak melintasi perbatasan internasional dimana mereka mungkin tidak memperoleh batasan-batasan usia perlindungan yang sama antara satu negara dengan negara lain.
Menentukan usia yang baku untuk mendefenisikan anak berpengaruh terhadap bagaimana anak-anak yang menjadi korban diperlakukan oleh hukum. Anak-anak tidak mungkin memberikan izin untuk dieksploitasi dan didera. Oleh karena itu di depan hukum mereka harus dianggap sebagai korban bukan sebagai kriminal. Dengan demikian, membakukan usia 18 tahun sebagai usia tanggung seksual secara internasional akan memberikan perlindungan yang lebih besar terhadap anak[2].

Eksploitasi Seksual Komersial Anak dan Kekerasan Seksual
Orang sering mencampuradukkan antara Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) dengan Kekerasan Seksual Anak (KSA). Kedua istilah tersebut memiliki perbedaan yang sangat tegas walaupun saling mengandung keterkaitan antara yang satu dengan yang lain. ESKA dan KSA merupakan bentuk penyalahgunaan kekuasaan dalam memanfaatkan seorang anak sebagai sebuah obyek seks. Meskipun demikian, ESKA dan kekerasan seksual terhadap anak merupakan dua bentuk kekerasan seksual terhadap anak yang berbeda yang membutuhkan intervensi-intervensi yang berbeda pula untuk menghapusnya. ESKA dan KSA juga sering tumpang tindih. Oleh karena itu, dibutuhkan adanya koordinasi dan kerjasama antara aktor-aktor yang peduli dengan kedua persoalan tersebut untuk memeranginya.
Eksploitasi seksual komersial dan kekerasan seksual anak sering dilakukan oleh seseorang yang telah dikenal oleh anak tersebut, kadang-kadang dilakukan oleh salah seorang anggota keluarganya. Ketika seseorang menerima eksploitasi seksual maupun kekerasan seksual biasanya mereka akan ditolak atau menerima stigma dari masyarakat khususnya jika eksploitasi atau kekerasan seksual tersebut menyebabkan kehamilan atau diketahui masyarakat umum yang dapat membuat mereka lebih rentan lagi terhadap perlakuan salah lebih lanjut atau membuat mereka lebih sulit untuk bertahan hidup.
Deklarasi dan Agenda Stokholm untuk Menentang Eksploitasi Seksual Komersial Anak (ESKA) merupakan instrument yang pertama mendefinisikan ESKA. Deklrasi ini telah diadopsi oleh 122 pemerintah pada pelaksanan Kongres Dunia Pertama menentang ESKA yang diadakan di Stocholm, Swedia tahun tahun 1996. Deklarasi ini mendefenisikan ESKA sebagai berikut :
“Sebuah pelanggaran mendasar terhadap hak-hak anak. Pelanggaran tersehttp://www.facebook.com/profile.php?id=100000704138696but terdiri dari kekerasan seksual oleh orang dewasa dan pemberian imbalan dalam bentuk uang tunai atau barang terhadap anak, atau orang ketiga, atau orang-orang lainnya. Anak tersebut diperlakukan sebagai objek seksual dan sebagai objek komersial. Eksploitasi seksual komersial anak merupakan sebuah bentuk pemaksaan dan kekerasan terhadap anak dan mengarah pada bentuk-bentuk kerja paksa serta perbudakan modern.”
Dari defenisi di atas jelas bahwa melalui ekspolitasi seksual komersial anak, seorang anak tidak hanya menjadi sebuah obyek seks tetapi juga sebagai sebuah komiditas yang membuatnya berbeda dalam rehabilitasi maupun pemulihannnya dan reintegrasi dengan keluarga atau masyarakat. ESKA adalah penggunaan seorang anak untuk tujuan-tujuan seksual guna mendapatkan uang, barang atau jasa bagi pelaku eksploitasi, perantara atau agen dan orang-orang lain yang mendapatkan keuntungan dari eksploitasi seksual pada anak tersebut. Hal ini merupakan pelanggaran terhadap hak-hak anak dan elemen kuncinya adalah bahwa pelanggaran ini muncul melalui berbagai bentuk transaksi komersial dimana satu atau berbagai pihak mendapatkan keuntungan. Adanya faktor keuntungan ini membedakan antara ESKA dengan kekerasan seksual anak karena dalam kekerasan seksual anak tidak ada keuntungan komersial walaupun eksploitasi seksual juga merupakan sebuah kekerasan seksual.
ESKA terjadi karena berbagai alasan yang berbeda seperti kekayaan yang tidak merata, permintaan untuk melakukan hubungan seks dengan anak-anak, ketidaksetaraan jender, konflik bersenjata, sikap sosial atau konsumerisme yang luar biasa. Bentuk-bentuk utama ESKA adalah pelacuran anak, pornografi anak dan perdagangan untuk tujuan seksual. Sedangkan pariwisata seks anak dan beberapa contoh perkawinan anak dapat dianggap sebagai bentuk khusus dari pelacuran anak. Namun yang jelas bentuk-bentuk ESKA tersebut memiliki dampak yang merusak yang sama terhadap anak-anak dan masyarakat dimana ESKA tersebut terjadi.
Kekerasan seksual terhadap anak dapat didefenisikan sebagai hubungan atau interaksi antara seorang anak dengan seseorang yang lebih tua atau anak lebih banyak nalar atau orang dewasa seperti orang asing, saudara kandung atau orang tua dimana anak tersebut dipergunakan sebagai sebuah obyek pemuas bagi kebutuhan seksual si pelaku. Perbuatan-perbuatan ini dilakukan dengan menggunakan paksaan, ancaman, suap, tipuan atau tekanan. Kegiatan-kegiatan yang mengandung kekerasan seksual tidak harus melibatkan kontak badan antara pelaku dengan anak tersebut. Tindakan tindakan tersebut dapat termasuk ekshibisme atau voyerurme seperti orang dewasa yang menonton seorang anak sedang telanjang atau menuyuruh atau memaksa anak-anak untuk melakukan kegiatan-kegiatan seksual dengan orang lain sedangkan pelaku tersebut menonton atau merekam kegiatan-kegiatan seksual tersebut [3]. Para pelaku sering kali adalah orang yang memiliki tanggung jawab atas keselamatan dan kesejahteraan anak tersebut. Dengan demikian, sudah ada hubungan kepercayaan di antara mereka dan pada saat yang bersamaan adanya satu kekuasaan.

Instrumen Internasional HAM Anak
Bahwa hak asasi anak merupakan bagian integral Hak Asasi Manusia (HAM). Bahasa lain yang disering dikemukakan adalah hak anak adalah HAM untuk anak. Dalam kaitannya dengan HAM, maka hak anak berarti :
1) Menegaskan berlakunya HAM bagi semua tingkatan usia, misalnya hak untuk bebas dari perlakuan aniaya, hak atas identitas dan kewarganegaraan dan hak atas jaminan sosial;
2) Meningkatkan standard HAM agar lebih sesuai denggan anak-anak, misalnya tentang kondisi kerja, penyelenggaran peradilan anak, serta kondisi perenggutan atau perampasan kemerdekaan;
3) Mengatur masalah-masalah yang khusus berhubungan dengan anak, misalnya pendidikan dasar, adopsi dan hubungan dengan orang tua.[4]
Karena anak memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus yang berbeda dengan orang dewasa, maka dipandang perlu untuk menyusun standard khusus yang berlaku secara universal hak-hak anak yang dimaksudkan untuk melindungi dari berbagai bentuk eksploitasi serta memberikan kewajiban kepada negara peserta untuk mengimplementasikan langkah-langkah pemenuhan hak-hak anak. Berikut ini ditampilkan beberapa instrumen HAM anak :
A. Perjanjian internasional yang mengatur secara khusus tentang hak-hak anak
1. Konvensi Hak Anak (KHA)
2. Protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang penjualan anak, pelacuran anak dan pornografi anak
3. Protokol Opsional Konvensi Hak Anak tentang Anak yang berkonflik senjata
B. Perjanjian Internasional lain yang Relevan
1. Protokol untuk mencegah, menekan dan menghukum perdagangan manusia, khususnya perempuan dan anak
2. Perjanjian organisasi buruh internasional: Konvensi tentang bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak dan konvensi tentang usia minimum untuk bekerja
C. Komitmen dan inisiatif pada tingkat internasional
1. Deklarasi dan agenda aksi Stocholm,
2. Komitmen Global Yokohama
3. Call for Action Rio.
Dari instrument yang disebutkan di atas, akan diuraikan secara singkat mengenai instrument yang terkait dengan masalah Eksploitasi Seksual Komersial Anak. Pasal 34 dan pasal 35 Konvensi Hak Anak secara langsung mewajibkan Negara untuk melindungi anak-anak dari semua bentuk eksploitasi seksual, termasuk pelacuran anak, pornografi anak dan perdagangan anak. Pasal-pasal ini merupakan landasarn perlindungan hukum internasional terhadap anak dari kekerasan dan eksploitasi seksual.

Pasal 34
“Negara-Negara Peserta berusaha untuk melindungi anak dari semua bentuk eksploitasi seksual dan penyalahgunaan seksual. Untuk tujuan ini, Negara-Negara Peserta khususnya akan mengambil langkah-langkah yang layak, bilateral dan multilateral untuk mencegah :
a) Bujukan atau paksaan agar anak terlibat dalam setiap kegiatan seksual yang tidak sah;
b) Penggunaan anak secara eksploitatif dalam pelacuran atau praktek-praktek seksual lain yang tidak sah;
c) Penggunaan anak secara eksploitatif dalam pertunjukan-pertunjukan dan bahan-bahan yang bersifat pornografiis”

Pasal 35
“Negara-Negara Peserta dan akan mengambil semua langkah yang layak, nasional, bilateral dan multilareal, untuk mencegah penculikan, penjualan atau jual-beli anak untuk tujuan atau dalam bentuk apapun”
Selanjutnya opsional protokol Konvensi Hak Anak tentang penjualan anak, pelacuran anak dan pornografi anak mengatur secara khusus mengenai ESKA. Beberapa hal penting tentang opsional protokol ini adalah sebagai berikut :
· Instrumen internasional pertama untuk mendefenisikan dan melarang penjualan anak, pelacuran anak dan pornografi anak
· Sampai dengan September 2008 telah ada 129 negara yang meratifikasinya
· Negara-negara Peserta disarankan untuk mengambil langkah-langkah dalam bidang pelarangan, prosedur pidana, pencegahan, perlindungan dan kerjasama internasional
· Pelaksanaan dimonitor oleh Komite Hak Anak
· LSM dapat berpartisipasi dalam pelaporan
Indonesia tidak termasuk negara yang telah meratifikasi opsional protokol KHA ini, karena itu Indonesia masih terlibat dalam proses pelanggaran hak anak di bidang ESKA.
Terkait dengan Deklarasi dan Agenda Aksi Stocholm, Komitmen Global Yokohama, serta Call for Action Rio maka beberapa hal penting yang bisa disampaikan :
· Instrumen internasional pertama yang bertujuan untuk menghapuskan ESKA
· 122 negara menunjukkan komitmen mereka di Stocholm, 159 menunjukkan komitmen mereka di Yokohama dan 181 negara menunjukkan komitmen mereka di Rio de Jeneiro.
· Instrumen hukum yang lunak dan secara hukum tidak mengikat Negara-negara yang berpartisipasi dalam Kongres Dunia Tersebut.

Potret Buram ESKA di Indonesia
Setiap tahun diperkirakan ada 100.000 anak dan perempuan yang diperdagangkan di Indonesia[5]. Diperkirakan juga bahwa 30 persen perempuan yang terlibat dalam pelacuran di Indonesia masih berumur di bawah 18 tahun dengan 40.000-70.000 anak Indonesia yang menjadi korban eksploitasi seksual. Institut Perempuan melaporkan bahwa sekitar 43,5 persen korban trafiking masih berusia 14 tahun walaupun sebagian besar perdagangan anak melibatkan anak-anak usia 17 tahun[6]. Permintaan terhadap seks anak telah memicu terjadinya perdagangan seks anak secara global sedangkan kemiskinan, kekerasan dalam rumah tangga, diskriminasi serta keinginan untuk memiliki sebuah kehidupan yang lebih baik membuat anak-anak menjadi rentan. Anak-anak sangat rentan untuk diperdagangkan untuk tujuan seks karena mereka seringkali kurang berpendidikan, lebih mudah untuk dimanfaatkan karena kekuasaan yang besar atau dapat ditipu oleh orang yang telah dewasa. Anak-anak juga mungkin merasa wajib untuk membantu menafkahi keluarga mereka atau lari dari situasi keluarga yang sulit dan bisa dijual atau pergi ke luar negeri untuk mendapatkan pekerjaan. Di Indonesia, kemiskinan, penerimaan sosial terhadap buruh anak, kurangnya pencatatan kelahiran, praktek-praktek tradisional seperti pernikahan dini dan kurangnya pendidikan bagi anak perempuan merupakan faktor-faktor yang memfasilitasi terjadinya perdagangan manusia[7].
Anak-anak usia 15-18 tahun dari Indonesia diperdagangkan ke Malaysia, Hong Kong dan Singapura untuk tujuan seksual[8]; banyak dari mereka yang diperdagangkan dari Indonesia melalui Kepulauan Riau, Kalimantan dan Sulawesi ke daerah-daerah wisata di Malaysia dan Singapura[9]. Menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak, berdasarkan data yang dikumpulkan dari 23 propinsi, tercatat ada lebih dari 2.000 kasus perdagangan anak di Indonesia pada tahun 2007, sebagian besar melalui Batam (400 kasus) dan Jakarta dari daerah-daerah pengirim di Jawa, Indramayu dan Sukoharjo[10].
Usia anak sering dipalsukan dengan menggunakan KTP palsu yang disebabkan oleh rendahnya tingkat pencatatan kelahiran di Indonesia sehingga mereka bisa bekerja sebagai buruh migran di luar negeri dengan iming-iming gaji yang besar. Bukti menunjukkan bahwa sebagian besar remaja putri dalam masyarakat China di Propinsi Kalimantan Barat (beberapa kasus juga dilaporkan di Jawa Timur) diperdagangkan untuk pengantin wanita pesanan ke Taiwan[11], Hong Kong dan Singapura[12]. Pada tahun 2007, dilaporkan bahwa para pelaku trafiking telah menggunakan dokumen-dokumen palsu untuk mendapatkan visa wisatawan untuk perempuan dan anak-anak perempuan yang diperdagangkan dan dipaksa masuk ke dalam dunia pelacuran di Jepang. Perdagangan perempuan dan anak perempuan domestik juga mewakili sebuah masalah eksploitasi yang besar di seluruh Indonesia. Perempuan dan anak-anak perempuan direkrut dengan janji akan dipekerjakan di sebuah restoran atau pabrik atau sebagai pembantu rumah tangga tetapi malah dipaksa masuk ke dalam perdagangan seks[13].
Pada bulan Mei 2008 dilaporkan bahwa ada sebuah trend baru perdagangan anak perempuan umur 13 tahun ke daerah-daerah pembalakan liar di Kalimantan Barat[14]. Kalimantan Barat dikenal sebagai sebuah daerah dimana anak-anak perempuan yang sebagian besar masih berusia antara 13 sampai 17 tahun diperdagangkan dari pulau tersebut dengan janji akan dipekerjakan sebagai pekerja restoran atau pembantu tetapi kenyataannya malah dipaksa masuk kedalam lokalisasi hutan di sejumlah tambang emas ilegal dan bisnis perkayuan[15]. Ada daerah-daerah tertentu di Indonesia yang dianggap sebagai daerah tujuan atau daerah pengirim. Misalnya, Bali dikenal sebagai daerah tujuan untuk perdagangan perempuan dan anak untuk tujuan seksual sedangkan Surabaya dianggap sebagai daerah tujuan untuk trafiking domestik dan sebagai daerah transit untuk beberapa rute internasional[16]. Jawa Barat dikenal sebagai daerah pemasok untuk pelacuran anak dan perempuan sedangkan Jakarta, Batam dan Surabaya dikenal sebagai daerah tujuan[17].
Sebagian wisatawan, orang asing dan penduduk setempat juga menjadi wisatawan seks anak dan sering mengunjungi daerah-daerah tujuan wisata di Indonesia. Sebagian pelaku kekerasan dari luar negeri membayar calo perkawinan untuk mencarikan istri melalui sistem pengantin perempuan pesanan yang dalam banyak kasus sering melibatkan anak-anak perempuan dengan pencatatan kelahiran dan dokumen perjalanan palsu. Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi Pariwisata Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia menyatakan bahwa dari tahun 1972-2008, mereka telah mencatat lebih dari 13.703 anak korban eksploitasi seksual di daerah-daerah tujuan wisata di 40 desa di 6 propinsi, yaitu Bali, Nusa Tenggara Barat, Jawa Tengah, Kepulauan Riau, Jawa Barat dan Jawa Timur[i]. Kompilasi data tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar perdagangan anak untuk tujuan seksual, baik untuk pelacuran anak maupun pornografi, ditemukan di Semarang (Jawa Tengah) dan Indramayu (Jawa Barat). Sementara itu, anak-anak yang menjadi korban kekerasan seksual dan pelacuran ditemukan secara merata di propinsi-propinsi tersebut[18]. Bali dan Nusa Tenggara Barat juga dinyatakan sebagai daerah tujuan wisata dimana banyak anak menjadi sasaran eksploitasi seksual[19].
Dalam pandangan ECPAT Internasional[20], Indonesia masih dianggap sebagai negara yang telah melakukan langkah terbatas dalam menanggulangi masalah eksploitasi seksual anak. Langkah-langkah terbatas ini diartikan baru sebatas komitmen dari Pemerintah Indonesia untuk memerangai masalah ini secara serius. Berikut saya kutip pernyataan ECPAT Internasional tersebut :
“Indonesia telah mengambil langkah-langkah penting untuk mengembangkan kerangka kerja kebijakan dan perundang-undangan yang komprehensif untuk memerangi eksploitasi seksual anak. Akan tetapi, Negara tersebut belum melakukan langkah-langkah pencegahan yang cukup untuk secara khusus mengurangi kerentantan anak-anak terhadap eksploitasi seks dan mengatasi faktor-faktor pendorong yang ada di balik tindak kejahatan ini. Kurangnya layanan dukungan dan bantuan khusus untuk anak-anak yang menjadi korban trafiking dan eksploitasi seksual juga menjadi perhatian utama”
Dari uraian di atas perlu juga dicatat tentang pandangan dari Komite Hak Anak PBB yang memberikan sebuah pendapat tentang bagaimana pemerintah Indonesia merespon persoalan-persoalan ESKA. Dalam tanggapannya, Komite Hak Anak menyambut baik rencana aksi nasional penghapusan ESKA periode 2002-2007. Namun, komite merasa khawatir UU yang ada tidak memberikan perlindungan yang efektif dan bahwa anak-anak korban ESKA sering tidak mendapatkan perlindungan dan atau bantuan pemulihan yang efektif. Komite juga merasa prihatin tentang kurangnya informasi mengenai bagaimana Rencana Aksi Nasional dilaksanakan di tingka propinsi dan kabupaten.
Komite juga mengingatkan kembali pandangannya bahwa anak-anak sebagai korban pelecehan dan eksploitasi seksual tidaklah bisa dinyatakan bertanggung jawab atau dinyatakan bersalah atas tindakan seperti itu. Untuk itu Komite merekomendasikan agar Indonesia :
1. Mengembangkan dan mengimplementasikan UU yang secara efektif bisa melindungi anak yang menjadi korban eksploitasi seksual, termasuk perdagangan anak, pornografi dan prostitusi anak, yang termasuk antara lain menaikkan batas usia minimum untuk melakukan hubungan seksual.
2. Melatih petugas penegak hukum, pekerja sosial dan penuntut umum tentang bagaimana menerima , memonitor, menyelidiki keluhan, dan melakukan tuntutan terhadap para pelaku, dengan cara yang peka terhadap anak dan menghormati kerahasiaan pribadi korban.
3. Memprioritaskan bantuan pemulihan dan menjamin agar pendidikan dan pelatihan serta bantuan psikososial dan konseling disediakan bagi korban, dan menjamin agar korban yang tidak bisa kembali ke keluarganya diberikan alternative solusi yang mamadia dan dilembagakan hanya sebagai langkah terakhir;
4. Menjamin agar Rencana Aksi Nasional untuk Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial tehadap anak diberi alokasi sumberdaya yang memadai dalam implementasiknya serta dilaksanakan secara efektif di tingka provinsi dan kabupaten [21].

Kesimpulan
Beberapa kesimpulan penting yang dibisa dipergunakan sebagai rujukan untuk mengatasi masalah pelanggaran hak anak khususnya yang menjadi korban eksploitasi seksual komersial anak sebagai berikut :
v Meratifikasi protokol tambahan Konvensi Hak Anak tentang perdagangan anak, pornografi anak dan pelacuran anak. Ratifikasi ini menjadi sangat penting karena akan dijadikan landasan untuk harmonisasi hukum nasional yang terkait dengan ESKA.
v Peningkatan status ratifikasi Konvensi Hak Anak dari Keputusan Presiden
menjadi Undang-Undang. Peningkatan status ratifikasi dari Keppres menjadi Undang-Undang akan memberikan landasan yang cukup kuat dalam upaya penanggulangan ESKA karena KHA adalah instrument payung di bidang perlindungan anak.
v Revisi Terbatas Undang-Undang Perlindungan Anak khususnya dalam pasal 83
yang mengkriminalkan pengguna anak-anak yang dilacurkan, dan obyek seksual komersial lainnya;
v Memperkuat pusat-pusat pemulihan khususnya untuk anak korban ESKA yang
terpisah dengan orang dewasa yang dikelola secara profesional. Pendekatan
pemulihan untuk anak yang menjadi korban ESKA berbeda dengan pendekatan
pemulihan untuk orang dewasa, sehingga penyatuan anak korban ESKA dengan
orang dewasa korban akan memperlama proses penyembuhan anak tersebut.
v Partisipasi anak perlu dibuka selebar-lebarnya oleh pemerintah dengan
memberikan dukungan yang maksimal untuk penanganan ESKA dengan melibatkan anak.


[1] Pasal 1 Konvensi Hak Anak (Keppres No. 36/1990).
[2] ECPAT Internasioanal, “Tanya dan Jawab tentang Eksploitasi Seksual Komersial Anak” (Penerbit dan Penterjemah ECPAT Indonesia, 2006), halaman 3
[3] ECPAT Internasional , Ibid, halaman 17
[4] Ima Susilowati dkk, “Pengertian Konvensi Hak Anak”, UNICEF Indonesia (2003), halaman 4
[5] UNICEF diakses dari http://www.unicef.org/infobycountry/indonesia_23650.html
[6] ‘Women and Children Trafficking in West Java Causing More Concern’. 10 April 2008. http://indonesiahaveanews.blogspot.com/2008/04/women-and-children-trafficking-in-west.html
[7] Agustinanto, Fatimana et al., Trafficking of women and children in Indonesia, International Catholic Migration Commission - American Center for International Labor Solidarity, Indonesia, 2003. Diakses dari: http://www.icmc.net/pubs/trafficking-women-and-children-indonesia
[8] Nugraha, Panca. “Child trafficking on the rist in West Nusa Tenggara”. 14 August 2008. The Jakarta Post. http://www.thejakartapost.com/news/2008/08/14/child-trafficking-rise-west-nusa-tenggara.html
[9] US State Department. Trafficking in Persons Report 2008 – Indonesia. 4 June 2008. Diakses dari: http://www.state.gov/documents/organization/105658.pdf
[10] Nugraha, Panca. “Child trafficking on the rist in West Nusa Tenggara”. 14 August 2008. The Jakarta Post. http://www.thejakartapost.com/news/2008/08/14/child-trafficking-rise-west-nusa-tenggara.html
[11] International Catholic Migration Commission (ICMC) and American Center for International Labor Solidarity (Solidarity Center). Trafficking of Women and Children in Indonesia. 2003. Diakses dari: http://www.icmc.net/pdf/traffreport_en.pdf- ECPAT International. Global Monitoring Report on the Status of Action against Commercial Sexual Exploitation of Children: Indonesia. Bangkok. 2006. http://www.ecpat.net
[12] Human Trafficking Project. Diakses pada bulan Maret 2009 dari: http://www.humantrafficking.org/countries/indonesia
[13] ibid
[14] ibid
[15] International Catholic Migration Commission (ICMC) and American Center for International Labor Solidarity (Solidarity Center). Trafficking of Women and Children in Indonesia. 2003. Diakses dari: http://www.icmc.net/pdf/traffreport_en.pdf
[16] International Catholic Migration Commission (ICMC) and American Center for International Labor Solidarity (Solidarity Center). Trafficking of Women and Children in Indonesia. 2003. Diakses dari: http://www.icmc.net/pdf/traffreport_en.pdf
[17] ibid
[18] Kompilasi data dari Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi Wisata Kementerian Kebudayaan dan Periwisata Republik Indonesia, Oktober 2008.
[19] US State Department. Trafficking in Persons Report 2008 – Indonesia. 4 June 2008. Diakses dari: http://www.state.gov/documents/organization/105658.pdf
[20] ECPAT (End Child Prostitution, Child pornography and Trafficking of Children for Sexual Purpuses) adalah sebuah jaringan organisasi dan individu yang bekerja bersama sama untuk menghapuskan eksploitasi seksual komersial pada anak (ESKA). Saat ini, para afiliasi dan kelompok nasional ini ECPAT ini hadiri di lebih dari 80 negara dan melaksanakan berbagai program untuk menentang EKSA.
[21] Majalah Kalingga “Kemajuan dan Rekomendasi Umum dari Komite KHA tentang Tindakan Tindakan Perlindungan Khusus”, Pusat Kajian dan Perlindungan Anak, November-Desember 2004, halaman 12. Pemerintah Indonesia sudah memperbaharui Rencana Aksi Nasional yang diberi nama Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Orang dan Eksploitasi Seksual Anak melalui Peraturan Menteri Kesra No. 65/2009. Rencana Aksi Nasional ini masih belum berjalan sepenuhnya dan laporan implementasinya belum dimasukkan sebagai laporan pemerintah Indonesia kepada Komite Hak Anak PBB.

Agustinanto, Fatimana et al., Trafficking of women and children in Indonesia, International Catholic Migration Commission - American Center for International Labor Solidarity, Indonesia, 2003. Diakses dari: http://www.icmc.net/pubs/trafficking-women-and-children-indonesia
ECPAT Internasioanal, “Tanya dan Jawab tentang Eksploitasi Seksual Komersial Anak” Penerbit dan Penterjemah ECPAT Indonesia, 2006
ECPAT International. “Global Monitoring Report on the Status of Action against Commercial Sexual Exploitation of Children: Indonesia. Bangkok. 2006. http://www.ecpat.net
ECPAT Internasional, “Memperkuat Hukum Penangangan Eksploitasi Seksual Anak”, Penerbit dan Penterjemah, ECPAT Indonesia, 2010.
Human Trafficking Project. Diakses pada bulan Maret 2009 dari: http://www.humantrafficking.org/countries/indonesia
Ima Susilowati dkk, “Pengertian Konvensi Hak Anak”, UNICEF Indonesia (2003).
Indonesia, Keputusan Presiden No. 36/1990 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Anak
International Catholic Migration Commission (ICMC) and American Center for International Labor Solidarity (Solidarity Center). Trafficking of Women and Children in Indonesia. 2003”. Diakses dari: http://www.icmc.net/pdf/traffreport_en.pdf
Kompilasi data dari Direktorat Jenderal Pengembangan Destinasi Wisata Kementerian Kebudayaan dan Periwisata Republik Indonesia, Oktober 2008.
Majalah Kalingga “Kemajuan dan Rekomendasi Umum dari Komite KHA tentang Tindakan Tindakan Perlindungan Khusus”, Pusat Kajian dan Perlindungan Anak, November-Desember 2004, halaman 12.
Nugraha, Panca. “Child trafficking on the rist in West Nusa Tenggara”. 14 August 2008. The Jakarta Post. http://www.thejakartapost.com/news/2008/08/14/child-trafficking-rise-west-nusa-tenggara.html
UNICEF, diakses dari http://www.unicef.org/infobycountry/indonesia_23650.html
US State Department. “Trafficking in Persons Report 2008 – Indonesia”. 4 June 2008. Diakses dari: http://www.state.gov/documents/organization/105658.pdf
‘Women and Children Trafficking in West Java Causing More Concern’. http://indonesiahaveanews.blogspot.com/2008/04/women-and-children-trafficking-in-west.html

[1] Artikel ini telah diterbitkan di Jurnal HUMANITAS (Jurnal Kajian dan Pendidikan HAM), Pusat Study HAM Universitas Negeri Medan, volume 1, Nomor 1, Desember 2010
[2] Penulis adalah Koordinator Nasional ECPAT Indonesia, Ketua Badan Pengurus Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) dan staff pengajar Fakultas Hukum UMSU.

No comments:

Post a Comment